Hidup Minimalis Bertentangan Dengan Zero Waste? Ini Buktinya!
Juli 04, 2020“Semakin banyak barang yang kita miliki, semakin besar pula energi yang perlu kita keluarkan -Fumio Sasaki”
Btw, sudah tau kan definisi minimalis? Nyatanya, definisi minimalisme tidak mutlak 100%. Yang berarti setiap orang bisa berbeda dalam mengurangi barangnya. Seorang minimalis adalah orang yang tahu persis hal-hal apa saja yang bersifat pokok bagi dirinya, dan yang mengurangi jumlah kepemilikan barang. Minimalis adalah orang yang bisa membedakan kebutuhan dan keinginan – keinginan karena ingin menampilkan citra tertentu – serta tidak takut mengurangi benda-benda yang termasuk keinginan.
Setelah saya membaca bukunya Fumio Sasaki “Goodbye Things”, saya
mendapatkan beberapa hal yang bertentangan dengan zero. Kok bisa ya
bertentangan? Hal ini menjadi penganggu buat saya yang sedang antusias
dengan zero waste. Ada beberapa poin yang sejalan, dan ada pula poin yang bertentangan dengan gaya hidup zero waste.
Sebenanarnya ……
- Membuang atau menyimpan barang?
Kalau si pejuang zero waste, dia akan menyimpan barang. Seperti toples bekas, botol, kertas bekas. Yang diperkirakan akan digunakan kemudian hari. Hal ini sering saya lakukan. Ya ada beberapa yang terpakai, ada juga yang sampai saat ini menumpuk di sudut rumah.
- Berhenti berpegang pada “kelak”
Ini salah satu tips dari Fumio Sasaki agar dapat berpisah dengan barang. Berhentilah berpikir jika suatu saat – entah kapan – barang akan digunakan. Berhenti berpikir akan suatu barang, mungkin akan berguna – entah kapan. Entah itu barang yang berkaitan dengan hobi, garansi elektronik, toples kue, tong kertas, dll.
Saya tentu tidak bisa mematuhi aturan ini. Saya akan tetap menyimpan
barang, dan mungkin saya harus berdoa perihal semoga barang yang saya
simpan bisa digunakan suatu saat nanti – entah kapan. Dibandingkan
membeli baru, begitu pikir saya. dan tujuan lainnya itu untuk membuat
suatu kreasi daur ulang dari barang yang tidak terpakai. Misalnya
kantong plastik bisa dijadikan dompet, baju bekas yang robek akan saya
buat kantong belanja. Tidak tau kapan. Hiks…..
- Tidak perlu mencoba cara-cara kreatif saat hendak membuang barang
Saat kegiatan membuang barang dilakukan, ada sebagian diri bilang “wah ada toples kue, kayaknya bisa nih buat wadah obat. Wah ada celana jeans bekas, bisa nih jadi alas piring”. Hal tersebut muncul karena ada pemikiran bahwa belum bisa membuang barang. Ini juga menyangkut tentang ‘kelak’. Setelah barang-barang yang tak terpakai disimpan, lalu kapan akan dikreasikan? Kapan kreativitas ini akan dieksekusi?
Ini mungkin ada benarnya juga ya. saya pun sudah membeli kertas roti
untuk membuat dompet dari kantong plastik. Belum tau kapan mau dibuat,
baru rencana. Kalau dibuang sayang buminya, kalau disimpan saja entah
kapan rencana daur ulang ini terlaksana. Entah kapan….
Kesimpulannya
Ini hanya artikel sharing my opinion aja sih. Apakah minimalis bisa sejalan dengan zero waste? Ada kalanya sejalan, dan bisa juga berlawanan. Tergantung bagaimana cara penerapannya. Masing-masing individu punya prinsip dan pendapatnya sendiri. Ada yang mau mengumpulkan kemasan (botol,plastik,kaca,dll) untuk dipakai lagi. Atau bahkan ada juga yang tidak punya itu semua karena mencegah dari awal sebelum sampahnya ada. Kan ada juga yang suka DIY (do it yourself).
Jika saya sendiri, diantara keduanya. Ingin minimalis (baru tekad)
contohnya dengan mengurangi kepemilikan. Ya kalau ada pakaian/ barang
apapun yang tidak saya pakai, akan saya berikan ke orang lain. Saya
setuju dengan Fumio Sasaki perihal ketika ingin membeli/ membuang
barang. Prinsip itu adalah “jika jawabannya bukan sangat butuh, katakan tidak”.
Ini bisa melatih kepekaan kita terhadap kebutuhan/ keinginan, dan juga
belajar memutuskan suatu hal. Belajar menjadi individu yang tegas. Kalau
iya , bilang iya. Kalau tidak, bilang tidak. Istilahnya adalah asertif.
Hal yang paling menarik dari konsep gaya hidup minimalis ini adalah
sejalan dengan agama islam yang sudah ada lebih dulu. Yaitu qona’ah.
Tidak jauh berbeda konsepnya. Pengertian qona’ah adalah merasa ridha
(lebih dari ikhlash) dan cukup dengan pembagian rizki yang Allah Ta’ala
berikan. Bangga sekali rasanya. Dalam islam semuanya sudah diatur,
orang islam seharusnya pun tidak perlu mencari referensi dari sumber
lain. (*ini nyindir diri sendiri). Orang islam yang telah qona’ah
menunjukkan akan kesempurnaan imannya (*sambil instropeksi diri)
Jadi, setuju kah Anda dengan tulisan ini? Kalau iya, kenapa? Kalau tidak, apa alasannya?
Yuk beri komentar. Saya sangat menghargai komentar Anda.
Semoga bermanfaat. Terima kasih ^^
Referensi :
https://muslim.or.id/6090-keutamaan-sifat-qonaah.htm
Sasaki, Fumio. 2018. Goodbye Things Hidup Minimalis Ala Orang Jepang. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
0 komentar